2 Juni 2011 Pukul 8:31
Oleh Kanda : Imam Sulaiman, ST.
Bangkitlah,
hatiku, bangkit dan berjalan bersama fajar, kerana malam telah
berlalu. Ketakutan malam lenyap bersama mimpi gelapnya.
Anak lelaki dan perempuan bergegas menuju kebun anggur. Kenapa kau tak beranjak dan berjalan bersama mereka?
Akankah roh-roh malam menghalangimu untuk mengikuti mereka ke padang rumput hijau?
Para pengembala memandu kawanan dombanya dari tempat ternak dan kandang.
Lihatlah
kawanan merpati dan burung murai melayang di atas lembah. Akankah
kengerian malam menghalangi engkau untuk menduduki sayap bersama
mereka?
Itulah arak-arakan sang fajar, hatiku! Akankah hening malam melumpuhkan kedalaman hatimu yang menyanyi menyambut fajar?
NUN di sana! Fajar merekah, hatiku. Bicaralah, jika kau mampu bicara!
Tenanglah,
hatiku, hingga fajar tiba. Karena dia yang menantikan dengan sabar
hingga fajar, pagi hari akan memeluknya dengan semangat.
Tenanglah,
meskipun prahara yang mengamuk mencerca bisikan-bisikan batinmu, dan
gua-gua lembah takkan menggemakan bunyi suaramu.
TENANGLAH, hatiku, hingga fajar tiba.
Kukumpulkan
barang-barang hasil dan kekayaan bumi ke dalam sebuah perahu yang
terapung di atas permukaan air. Aku kembali ke orang-orangku, tapi
mereka menolak diriku karena mata mereka hanya melihat bagian luar.
Angin,
badai dan terik matahari telah menghapus lukisan-lukisan dari layar,
memudarkan ia seperti pakaian berwarna kelabu dan usang.
Gelombang laut telah mencuri cat dari sisi-sisi kapalku, tak meninggalkan apa pun kecuali tulang belulang yang bertaburan.
Aku
kembali ke pelabuhan, kesal dan bingung. Tak lama kemudian aku melihat
kapalku. Maka aku melihat perjuangan dan harapan dari perjalananku
yang menghalangi perhatianku. Aku menjerit.
Aku berdiri di
alun-alun sambil mengutuk pada orang-orang bahwa aku membawa buah dan
kekayaan bumi. Mereka memandangku, mulutnya penuh tawa, cemoohan pada
wajah mereka. Lalu mereka berpaling dariku.
Tapi ketika aku tiba
di pelabuhan, tak seorangpun keluar menemuiku. Ketika kumasuki
jalan-jalan kota, tak seorang pun memerhatikan diriku.
Aku
mengisi kapal pikiranku dengan harta benda dan barang-barang hasil bumi
dan kembali ke pelabuhan kotaku, sambil berkata, "Orang-orangku pasti
akan memujiku, memang sudah pastinya. Mereka akan menggendongku ke
dalam kota sambil menyanyi dan meniup trompet"
Dari pulau-pulau selatan aku kembali dengan rantai dan pedang tajam, tombak-tombak panjang, serta beraneka jenis senjata.
Aku
berlayar menuju pulau-pulau barat, dan membawa bijih emas dan gading,
batu merah delima dan zamrud, dan sulaman serta pakaian warna merah
lembayung.
Aku berlayar menuju pulau-pulau timur, dan mengisi kapalku dengan dupa dan kemenyan, pohon gaharu dan kayu cendana.
Setelah setahun aku menaiki kapal pikiranku dan kulayari di laut untuk kedua kalinya.
Tak seorang pun tahu kenapa aku kembali dengan kapal kosongku ke pelabuhan.
Tak seorang pun bertanya apakah yang kubawa dari seberang lautan
Ini
mereka lakukan karana bagian luar kapalku yang dihias dengan
cemerlang, tapi tak seorang pun masuk ke dalam kapal pikiranku.
Tatkala
kerjaku selesai, kapal pikiranku laksana pandangan luas seorang nabi,
berputar dalam ketidakterbatasan laut dan langit. Kumasuki pelabuhan
kotaku, dan orang muncul menemuiku dengan pujian dan rasa terima kasih.
Mereka membawaku ke dalam kota, memukul gendang dan meniup seruling.
Aku
mulai mengecat sisi-sisi kapalku dengan warna-warni - kuning matahari
terbenam, hijau musim bunga baru, biru kubah langit, merah senjakala
yang menjadi kecil. Pada layar dan kemudinya kuukirkan susuk-susuk
menakjubkan, menyenangkan mata dan menyenangkan penglihatan.
Tatkala kerjaku selesai, kapal pikiranku
"Aku akan kembali ke kapal kosong pikiranku menuju pelabuhan kota tempat aku dilahirkan."Sang waktu datang kala aku merasa jemu terapung-apungan di atas permukaan laut dan berkata, Kapal pikiranku kosong kecuali untuk tujuh cawan yang dilimpahi dengan warna-warna, gemilang berwarna-warni.
Semalam pikiranku adalah kapal yang terumbang-ambing oleh gelombang laut dan digerakkan oleh angin dari pantai ke pantai
Dengarkan, hatiku, dan dengarkan aku bicara.
Tenanglah, kerana langit menghembus bau amis kematian dan tak bisa meminum nafasmu.
TENANGLAH, hatiku, hingga fajar tiba.
Aku
menjerit,"Orang-orang tak menginginkan rahmat pada mulutnya atau
kebenaran dalam usus mereka, kerana rahmat adalah puteri airmata dan
kebenaran putera darah!"
Lalu kuambil sebuah dan memakannya,
merasakan manisnya bagai madu pilihan, lezat seperti musim bunga dari
surga, sangat menyenangkan laksana anggur Babylon, wangi bak
wangi-wangian dari melati.
PADA musim panas jiwaku menyandang
buah. Tatkala musim gugur tiba, kukumpulkan buah-buahnya yang matang di
talam emas dan kuletakkan di tengah jalan. Orang-orang melintas, satu
demi satu atau dalam kelompok-kelompok, tapi tak satu pun menghulurkan
tangannya untuk mengambil bahagiannya.
Aku memberinya
minum dengan darah dan airmataku, sambil berkata,"Terdapat sebentuk
keharuman dalam darah, dan dalam airmata sebentuk kemanisan."
Kutanam
dia di padang yang tempatnya jauh dari jalan-jalan waktu. Kulewatkan
malam dengan terjaga di sisinya, sambil berkata,"Mengamati bersama
malam yang membawa kita mendekati kerlipan bintang."
Dan kutanam sekali lagi pohon jiwaku di tempat lain.
Kucabut
akarnya dari tanah liat yang di dalamnya dia telah bertunas dan tumbuh
dengan subur. Kucabut akar dari masa lampaunya, menanggalkan kenangan
seribu musim bunga dan seribu musim gugur.
Lalu kucabut pohon jiwaku yang kukuh dan tua.
"
Apa yang telah kaulakukan, jiwaku, dengan kemanisan akar-akarmu itu
yang telah meresap dari usus besar bumi, dengan wangian daun-daunmu
yang telah meneguk cahaya matahari?"
Aku berbicara dalam
hati,"Bencana bagiku, karena telah kutempatkan sebentuk laknat di dalam
mulut orang-orang itu, dan permusuhan dalam perutnya.
Kuambil ia dan memakannya, dan merasakan pahitnya bagai kayu gaharu, masam bak anggur hijau.
KALA
musim gugur berlalu dan gita pujinya bertukar menjadi lagu kematian
dan ratapan, kudapati semua orang telah meninggalkan diriku kecuali
satu-satunya buah di talam perak.
Semalam jiwaku adalah
sebatang pohon yang kukuh dan tua, menghunjam akar-akarnya ke dasar bumi
dan cabang-cabangnya mencekau ke arah yang tak terhingga.
DENGARLAH hatiku, dan dengarlah ucapanku.
Saat terjaga, kulihat kesedihan dan kepedihan; ke manakah perginya kegembiraan dan kesenangan impian?
Kulihat
kuburan-kuburan, berderet-deret, tegak di hadapan zaman-zaman yang
tenang. Tapi tak satu pun kulihat di sana yang bergoyang dalam tarian,
juga tidak yang tertunduk dalam doa.
Kulihat langit menaburkan salju di atas padang dan lembah, dilapisi warna putih mayat dari bunga lili yang membeku.
Kulihat
semua makhluk ini dalam sebuah mimpi. Ketika aku terjaga dan memandang
sekelilingku, kulihat gunung berapi memuntahkan nyala api, tapi tak
kudengar murai bernyanyi, juga tak kulihat dia terbang.
Kulihat seorang anak tertawa sambil bermain dengan tengkorak-tengkorak.
Kulihat seorang bidadari telanjang menari-menari di antara batu-batu kubur.
Kulihat sekuntum bunga Lili menyembulkan kelopaknya di balik salju.
DALAM mimpi aku melihat seekor murai menyanyi saat dia terbang di atas kawah gunung berapi yang meletus.
Tenanglah,
hatiku. Tenanglah hingga fajar tiba, kerana dia yang menanti pagi
dengan sabar akan menyambut pagi dengan kekuatan. Dia yang mencintai
cahaya, dicintai cahaya.
Tenanglah, kerana roh-roh malam tak menghiraukan bisikan rahasiamu, dan bayang-bayang tak berhenti dihadapan mimpi-mimpi.
Dia takkan melahirkan melodi dan nyanyianmu.
Tenanglah, karena bumi dibebani dengan ratapan kesedihan.
TENANGLAH hatiku, karena langit tak pun mendengarkan
0 komentar: