ANTARA PAGI DAN MALAM HARI

Posted by Himassila Makassar Label: Kamis, 13 Februari 2014

2 Juni 2011 Pukul 8:31
Oleh Kanda : Imam Sulaiman, ST.
Bangkitlah, hatiku, bangkit dan berjalan bersama fajar, kerana malam telah berlalu. Ketakutan malam lenyap bersama mimpi gelapnya.
Anak lelaki dan perempuan bergegas menuju kebun anggur. Kenapa kau tak beranjak dan berjalan bersama mereka?

Akankah roh-roh malam menghalangimu untuk mengikuti mereka ke padang rumput hijau?
Para pengembala memandu kawanan dombanya dari tempat ternak dan kandang.
Lihatlah kawanan merpati dan burung murai melayang di atas lembah. Akankah kengerian malam menghalangi engkau untuk menduduki sayap bersama mereka?
Itulah arak-arakan sang fajar, hatiku! Akankah hening malam melumpuhkan kedalaman hatimu yang menyanyi menyambut fajar?

NUN di sana! Fajar merekah, hatiku. Bicaralah, jika kau mampu bicara!
Tenanglah, hatiku, hingga fajar tiba. Karena dia yang menantikan dengan sabar hingga fajar, pagi hari akan memeluknya dengan semangat.
Tenanglah, meskipun prahara yang mengamuk mencerca bisikan-bisikan batinmu, dan gua-gua lembah takkan menggemakan bunyi suaramu.
TENANGLAH, hatiku, hingga fajar tiba.

Kukumpulkan barang-barang hasil dan kekayaan bumi ke dalam sebuah perahu yang terapung di atas permukaan air. Aku kembali ke orang-orangku, tapi mereka menolak diriku karena mata mereka  hanya melihat bagian luar.

Angin, badai dan terik matahari telah menghapus lukisan-lukisan dari layar, memudarkan ia seperti pakaian berwarna kelabu dan usang.
Gelombang laut telah mencuri cat dari sisi-sisi kapalku, tak meninggalkan apa pun kecuali tulang belulang yang bertaburan.

Aku kembali ke pelabuhan, kesal dan bingung. Tak lama kemudian aku melihat kapalku. Maka aku melihat perjuangan dan harapan dari perjalananku yang menghalangi perhatianku. Aku menjerit.
Aku berdiri di alun-alun sambil mengutuk pada orang-orang bahwa aku membawa buah dan kekayaan bumi. Mereka memandangku, mulutnya penuh tawa, cemoohan pada wajah mereka. Lalu mereka berpaling dariku.

Tapi ketika aku tiba di pelabuhan, tak seorangpun keluar menemuiku. Ketika kumasuki jalan-jalan kota, tak seorang pun memerhatikan diriku.
Aku mengisi kapal pikiranku dengan harta benda dan barang-barang hasil bumi dan kembali ke pelabuhan kotaku, sambil berkata, "Orang-orangku pasti akan memujiku, memang sudah pastinya. Mereka akan menggendongku ke dalam kota sambil menyanyi dan meniup trompet"

Dari pulau-pulau selatan aku kembali dengan rantai dan pedang tajam, tombak-tombak panjang, serta beraneka jenis senjata.

Aku berlayar menuju pulau-pulau barat, dan membawa bijih emas dan gading, batu merah delima dan zamrud, dan sulaman serta pakaian warna merah lembayung.
Aku berlayar menuju pulau-pulau timur, dan mengisi kapalku dengan dupa dan kemenyan, pohon gaharu dan kayu cendana.
Setelah setahun aku menaiki kapal pikiranku dan kulayari di laut untuk kedua kalinya.

Tak seorang pun tahu kenapa aku kembali dengan kapal kosongku ke pelabuhan.
Tak seorang pun bertanya apakah yang kubawa dari seberang lautan
Ini mereka lakukan karana bagian luar kapalku yang dihias dengan cemerlang, tapi tak seorang pun masuk ke dalam kapal pikiranku.

Tatkala kerjaku selesai, kapal pikiranku laksana pandangan luas seorang nabi, berputar dalam ketidakterbatasan laut dan langit. Kumasuki pelabuhan kotaku, dan orang muncul menemuiku dengan pujian dan rasa terima kasih. Mereka membawaku ke dalam kota, memukul gendang dan meniup seruling.

Aku mulai mengecat sisi-sisi kapalku dengan warna-warni - kuning matahari terbenam, hijau musim bunga baru, biru kubah langit, merah senjakala yang menjadi kecil. Pada layar dan kemudinya kuukirkan susuk-susuk menakjubkan, menyenangkan mata dan menyenangkan penglihatan.

Tatkala kerjaku selesai, kapal pikiranku
"Aku akan kembali ke kapal kosong pikiranku menuju pelabuhan kota tempat aku dilahirkan."Sang waktu datang  kala aku merasa jemu  terapung-apungan di atas permukaan laut dan berkata, Kapal pikiranku kosong kecuali untuk tujuh cawan yang dilimpahi dengan warna-warna, gemilang berwarna-warni.

Semalam pikiranku adalah kapal yang terumbang-ambing oleh gelombang laut dan digerakkan oleh angin dari pantai ke pantai
Dengarkan, hatiku, dan dengarkan aku bicara.
Tenanglah, kerana langit menghembus bau amis kematian dan tak bisa meminum nafasmu.
TENANGLAH, hatiku, hingga fajar tiba.

Aku menjerit,"Orang-orang tak menginginkan rahmat pada mulutnya atau kebenaran dalam usus mereka, kerana rahmat adalah puteri airmata dan kebenaran putera darah!"
Lalu kuambil sebuah dan memakannya, merasakan manisnya bagai madu pilihan, lezat seperti musim bunga dari surga, sangat menyenangkan laksana anggur Babylon, wangi bak wangi-wangian dari melati.

PADA musim panas jiwaku menyandang buah. Tatkala musim gugur tiba, kukumpulkan buah-buahnya yang matang di talam emas dan kuletakkan di tengah jalan. Orang-orang melintas, satu demi satu atau dalam kelompok-kelompok, tapi tak satu pun menghulurkan tangannya untuk mengambil bahagiannya.

Aku memberinya minum dengan darah dan airmataku, sambil berkata,"Terdapat sebentuk keharuman dalam darah, dan dalam airmata sebentuk kemanisan."

Kutanam dia di padang yang tempatnya jauh dari jalan-jalan waktu. Kulewatkan malam dengan terjaga di sisinya, sambil berkata,"Mengamati bersama malam yang membawa kita mendekati kerlipan bintang."

Dan kutanam sekali lagi pohon jiwaku di tempat lain.
Kucabut akarnya dari tanah liat yang di dalamnya dia telah bertunas dan tumbuh dengan subur. Kucabut akar dari masa lampaunya, menanggalkan kenangan seribu musim bunga dan seribu musim gugur.

Lalu kucabut pohon jiwaku yang kukuh dan tua.
" Apa yang telah kaulakukan, jiwaku, dengan kemanisan akar-akarmu itu yang telah meresap dari usus besar bumi, dengan wangian daun-daunmu yang telah meneguk cahaya matahari?"
Aku berbicara dalam hati,"Bencana bagiku, karena telah kutempatkan sebentuk laknat di dalam mulut orang-orang itu, dan permusuhan dalam perutnya.
Kuambil ia dan memakannya, dan merasakan pahitnya bagai kayu gaharu, masam bak anggur hijau.
KALA musim gugur berlalu dan gita pujinya bertukar menjadi lagu kematian dan ratapan, kudapati semua orang telah meninggalkan diriku kecuali satu-satunya buah di talam perak.

Semalam jiwaku adalah sebatang pohon yang kukuh dan tua, menghunjam akar-akarnya ke dasar bumi dan cabang-cabangnya mencekau ke arah yang tak terhingga.
DENGARLAH hatiku, dan dengarlah ucapanku.

Saat terjaga, kulihat kesedihan dan kepedihan; ke manakah perginya kegembiraan dan kesenangan impian?

Kulihat kuburan-kuburan, berderet-deret, tegak di hadapan zaman-zaman yang tenang. Tapi tak satu pun kulihat di sana yang bergoyang dalam tarian, juga tidak yang tertunduk dalam doa.
Kulihat langit menaburkan salju di atas padang dan lembah, dilapisi warna putih mayat dari bunga lili yang membeku.

Kulihat semua makhluk ini dalam sebuah mimpi. Ketika aku terjaga dan memandang sekelilingku, kulihat gunung berapi memuntahkan nyala api, tapi tak kudengar murai bernyanyi, juga tak kulihat dia terbang.

Kulihat seorang anak tertawa sambil bermain dengan tengkorak-tengkorak.
Kulihat seorang bidadari telanjang menari-menari di antara batu-batu kubur.
Kulihat sekuntum bunga Lili menyembulkan kelopaknya di balik salju.
DALAM mimpi aku melihat seekor murai menyanyi saat dia terbang di atas kawah gunung berapi yang meletus.

Tenanglah, hatiku. Tenanglah hingga fajar tiba, kerana dia yang menanti pagi dengan sabar akan menyambut pagi dengan kekuatan. Dia yang mencintai cahaya, dicintai cahaya.
Tenanglah, kerana roh-roh malam tak menghiraukan bisikan rahasiamu, dan bayang-bayang tak berhenti dihadapan mimpi-mimpi.

Dia takkan melahirkan melodi dan nyanyianmu.
Tenanglah, karena bumi dibebani dengan ratapan kesedihan.
TENANGLAH hatiku, karena langit tak pun mendengarkan

HIMASSILA of STORY

Posted by Himassila Makassar Label:

Pengantar oleh              : Parlan

editor                           : Ardiansyah, S.Pd., M.Pd

penterjemah                 : Sahlan, S.Pd.I

catatan                         : I, Tahun 2014

Tata Letak dan ilustrasi : Nurmi

Desain Sampul              : KB HIMASSILA


hak cipta dilindungi oleh undang-undang Hak cipta
dilarang memperbanyak atau mengutip 
apalagi mengcopy tanpa seizin penulis


Sejarah himassila di tulis dan di terbitkan secara singkat dan jelas, agar seluruh masyarakat Sangga, Simpasai, Lanta khususnya dan seluruh komunitas di indonesia pada umumnya mempelajari dan bisa memahami sebuah lembaga.



Himassila Makassar dideklarasikan pada tanggal 15 November 2012 sebagai Lembaga Kemahasiswaan. Dalam mendirikan Lembaga ini bagi kami belumlah lengkap jika tidak ada lambang yang jelas, sampai serpihan awal agar kami dikenang, maka dengan penuh cinta serta semangat yang berkobar dijiwa maka lahirlah lambang tersebut dengan sendirinya, seakan-akan yang hadir adalah keabadian, karena kami terus menciptakan semangat baru dengan diiringi warna ORENGS untuk terus hidup dan memberi arti bagi segenap Makhluk Hidup dengan warna GREEN yang dilengkapi dengan Rantai Besi sebagai pengikat yang kuat diantara kami. Buku dan Penah sebagai Rotasi sang Pencari Ilmu pengetahuan dengan melalui Arah mata angin pula sebagai penunjuk arah untuk kami terus melangkah dan mengharap Ridho dari Tuhan Yang Maha Esa.
Himassila sala satu harapan kami untuk teru berjuang meraih masa depan yang cerah sebagaimana Soekarno menyatakan bahwa Revolusi Itu Belum Selesai. Himassila Komunitas yang relatif cukup kecil dibanding lembaga-lembaga lain, tapi kami mampu mengguncang dunia.

Ole : Parlan.